Peran Negara Dalam Penanggulangan Terorisme di Indonesia, Oleh: Sidratahta Mukhtar

BERITA, Jakarta416 Dilihat

Mediapatriot.co.id – Jakarta, 26 Agustus 2020

Dalam sebuah kesempatan mengisi International Conference : ASEAN-50 Years of Integration and Challenges, dalam rangka Perayaan ASEAN (1967-2017), seorang professor ahli strategi keamanan, Prof. Dr. Nguyen Quang Thuan, yang juga President of Vietnam Academy of Social Science (VASS) bertanya kepada saya, “bagaimana negara anda yang menjadi tulang punggung pilar politik dan keamanan ASEAN mampu mengendalikan keamanan bersama, ditengah makin meningkatnya ancaman terorisme Jamaah lslamiyyah dan ISIS? Saya menjawab dengan mengatakan, bahwa sejak awal lahirnya terorisme di Indonesia, hingga tumbuh berkembangnya sel-sel dan jaringan terorisme lokal dan global, menunjukkan peran adanya negara yang kuat. Dalam sistem politik yang berbeda-beda sejak kemerdekaan tahun 1945 : demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, hingga demokrasi yang dijadikan sistem pemerintahan Indonesia dewasa ini, Indonesia telah mempraktekkan tiga model penanggulangan terorisme yaitu pendekatan intelijen, pendekatan militer dan pendekatan kepolisian (policing terrorism).

Sebagai Negara yang lahir dari revolusi kemerdekaan, perkembangan politik, ideoIogi dan gerakan sosial kerap muncul dalam beragam bentuk, termasuk dalam modus Operandi Serangan Terorisme. Di awal kemerdekaan kita dihadapkan dengan ancaman terorisme separatis yang terjadi diberbagai wilayah. berbagai pemberontakan yang timbul seperti Pemberontakan PRRl/Permesta, Gerakan Darul lslam/Tentara Islam Indonesia, Pemberontakan Andi Azis, Pemberontakan Kahar Muzakar, Gerakan Aceh Merdeka dan Operasi Papua Merdeka. Sebagian besar aksi pemberontakan politik terhasil dihadapi dengan peran strategis
dan kecanggihan taktik oleh institusi pertahanan dan keamanan Negara.

Definisi, Tipologi dan Karakteristik Tetorisme

Terorisme merupakan masalah yang dihadapi masyarakat dan manusia sepanjang sejarah. Pada tiap jaman atau era perkembangan sejarah umat manusia memiliki tipologi dan karakteristik tersendiri. Secara umum, terorisme dimaknai sebagai kekerasan politik (political violence) seperti pemberontakan, kerusuhan, penculikan, gerilya, revolusi, pemboman dan sebagainya. Definisi Walker Lacquer diperjelas oleh Paul Wilkinson dengan merumuskan bentuk-bentuk karakteristik terorisme politik itu antara lain, intimidasi yang memaksa, pembunuhan, penghancuran sistematis, target aksi dipilih, bekerja secara rahasia dengan tujuan publistik. Dipihak lain, Thornton, memaknai terorisme sebagai aktivitas pemberontakan mengacaukan tatanan yang ada guna memperoleh kekuasaan dan hak-hak politik kelompok terroris. Weinberger membuat 4 (empat) kesimpulan (a). tujuan revolusioner (revolutionary) yang dilakukan oleh negara Uni Sovyet untuk tujuan perubahan ekonomi dan politik sesuai cita-cita komunisme atau sosialisme. Di Amerika Latin juga menerapkan cara-cara yang sama seperti Uni Sovyet sebagai upaya mengakhiri eksploitasi ekonomi. (b). etno nasionalisme dan separatism, contoh ini dilakukan oleh Tamil Tigers, Basque (ETA) dan IRA. (c). Reaksioner, dilakukan seperti yang dicontohkan diatas tentang terorisme untuk kepentingan rasialisme. (d). terorisme dengan motivasi religious (religiously motivated terrorism) dianggap merupakan
fenomena yang paling tua yang muncul Iagi dalam bentuk ancaman terorisme baru di berbagai belahan dunla, seperti Al Qaida, Jamaah Islamlyah di Asia Tenggara, Abu Sayaf Group (ASG) dan lainnya.

Teror secara sistematis dan terencana dipilih sebagai strategi yang digunakan kelompok yang berkonflik di Timur Tengah khususnya pihak Israel dan Palestina. Israel menggunakan metode teror untuk mengusir orang-orang Palestina dari tanah kelahirannya. Palestina sebaliknya menghadapi serangan Israel dengan menggunakan cara bom bunuh diri (istimata) yang kemudian model ini menginspirasi perjuangan kelompok Islam di berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia. Sejarah terorisme pada masa klasik menunjukkan adanya berbagai tipologi, motivasi, ideologi dan metode terorisme, sehingga kajian terorisme memerlukan fokus sesuai disiplin ilmu dan model studi yang digunakan. Jerrold Post menkonseptualisasi sub state terrorism ke dalam 5 (lima) aspek terorisme; (a). terorisme revolusi social (social revolutionary terrorism (left). (b). Terorisme sayap kanan (right wing terrorism). (c). terorisme separatis nasionalis (nationalist separatist terrorism). (d). terorisme estrimisme religious (religious extremist terrorism) yang terdiri dari terorisme berbasis fundamentalisme agama, dan terorisme agama baru (new religious terrorism), dan terorisme isu tunggal (single issue terrorism).

Tren Ancaman Terorisme Baru

Berdasarkan teori-teori utama terorisme di atas, maka aksi-aksi terorisme dilakukan dalam berbagai bentuk; Sabotase, pemboman, serangan bersenjata, pembajakan pesawat dan kereta api. Pembunuhan politik, penghadangan, penculikan dan penyanderaan, aksi perampokan, ancaman dan intimidasi. Selain itu, terdapat tren baru perkembangan terorisme di era teknologi tinggi, yaitu penggunaan penggunaan zat-zat nuklir, biologi, kimia, dan radioaktif (NUBIKARA). Penggunakan taktik CBRN sudah banyak dilakukan kelompok teroris seperti oleh
Aum Shinkiriyo di jalur kereta bawah tanah Tokyo yang menewaskan 13 orang, 54 orang luka parah dan 980 orang luka ringan. Iran mendeklarasikan dirinya serbagai negara yang mampu memperkaya Uranium. Sumber ancaman nuklir pun telah meluas hingga ke tingkat zat radioaktif. Bahkan metode lone wolf terrorism seperti dalam Bom satu keluarga di Surabaya menggunakan unsur kimia yang dibuat dengan mempelajarinya secara mandiri melalui internet. Selain itu metode terorisme yang berbahaya adalah penggunaan racun dan cyber terrorism. Mereka menggunakan teknologi informasi yang sedang berkembang. Penggunaan CBRN memang belum begitu popular di Indonesia, namun sudah terdapat berbagai serangan terorisme yang menggunakan unsur zat-zat biologi tersebut. Wabah penyakit seperti Virus
Corona (Covid 19) ini berpotensi digunakan sebagai metode baru serangan terorisme.

Ahli terorisme Walter Laquar menulis dalam karyanya new terrorism bahwa wabah merupakan bagian penting dari cara terorisme melakukan penargetan terhadap obyek-obyek nasional yang memberikan efek ketakutan dan kerusakan yang dipandang kelompok terorisme sebagai hal yang mereka yakini dapat merubah tatanan dan era baru yang sesuai dengan cita-cita politik kekerasan mereka.Dalam studi tim riset Cesfas, kami sudah memasukkan adanya temuan jaringan teroris di Indonesia mulai menggunakan strategi senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction) meski skalanya masih terbatas. Senjata pemusnah massal bisa mencakup beberapa jenis, seperti bahan kimia, bahan biologi seperti virus, radiologikal, dan nuklir. Mengenai penggunaan racun dalam aksi terorisme, Center for Disease Control (Pusat Pengendalian Penyakit) Amerika telah mengklasifikasikan virus, bakteri dan racun dapat digunakan untuk penyerangan terorisme, diantaranya adalah virus antraks. Studi Yohannes Jenius menyatakan bahwa penggunaan CBRN sudah menjadi salah satu taktik baru yang digunakan oleh berbagai jaringan terorisme di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Penggunaan WMD memang belum massif digunakan dalam taktik dan penargetan terorisme kontemporer. Pada daerah Zona merah ini telah beroperasi berbagai jaringan terorisme lokal, regional dan internasional. Mereka telah berdiaspora ke dalam berbagai sel dan jaringan terorisme lokal yang membaur ke di tengah-tengah masyarakat. Mengapa taktik terorisme ini begitu cepat diikuti seI-sel kecil di kampung-kampung di Indonesia? Melalui riset Sageman (2008), diketahui bahwa metode perekrutan anggota terorisme dilakukan melalui cara bergerak bawah tanah. Selain menggunakan situs Web dan koneksi lokal untuk merekrut orangorang dengan mlnat yang sama dan tertarik dalam jihad.

Dalam wawancara langsung dengan Aman Abdurrahman baru-baru ini, dikatakan oleh ldeolog nomor wahid terorisme dl Indonesia itu bahwa ia mengakui tugasnya melalukan upaya penanaman akidah kepada umat Islam. Hal itu panting bagi Aman karena bagi mereka Negara dan bangsa Indonesia adalah Negara yang tidak berhukum pada hukum Tuhan, karena itu mereka tidak mengakui adanya Negara. Aman Abdurrahman mengaku dirinya adalah aliran Wahabisme yang asli, sedangkan Wahabisme ala Arab berada dalam cengkraman hegemoni Amerika Serikat. Mengingat begitu bahayanya ideologisasi kaum teroris di negeri ini, maka pendekatan kontra ideology dan deradikalisasi perlu dilakukan secara total dengan melibatkan berbagai lembaga pemerintahan dan didukung oleh masyarakat moderat. Kapolri Jenderal Polisi Muhammad Tito Karnavian saat menjadi pembicara pada diskusi panel di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, awal November tahun 2017, bahwa konsep strategi pendekatan lunak dalam menghadapi kelompok terorisme sangat penting dan tidak hanya mengandalkan pendekatan kekerasan.

Upaya penanggulangan terorisme yang efektif haruslah berangkat dari penanganan terhadap proses radikalisasi, karena radikalisasi adalah sebuah proses awal dari penyebaran terorisme. Sebuah studi tentang Dekonstruksi pemahaman ISIS Indonesia terhadap pandangan dunia ideal, Didik Novi Harmanto (2019), factor utama yang mendorong mereka bergabung dengan sel-sel terorisme dan berhenti menjadi teroris adalah pemahaman terhadap dunia yang ideal. Demikian juga pendekatan adu pemikiran ideologis radikal dilakukan Aman Abdurrahman, sang terpidana mati itu, dengan penyebaran gagasan-gagasannya lewat media sosial dan elektronik. Menurut dia, karya-karyanya banyak dibaca dan digunakan sebagai pemompa spirit revivalisme akidah pendukung ISIS di basis sentralnya di Timur Tengah. Novi menyimpukan tiga factor yang mengubah pandangan dan keyakinan politik dan ideologis terorisme yaitu, factor expectation, gap,radicalism dan individual obligations. Pemicu radikalisasi dilatari oleh pemahaman agama yang ditafsirkan secara tekstual. Pemahaman dunia yang adil dapat dilihat dalam kacamata tanggungiawab personal. Expectation gap adalah adanva perbedaan antara kenyataan dan harapan. Misalnya isu gaji yang ditawarkan tak sesuai realitas, yang bahkan kabarnya gaji mereka di korupsi oleh perekrut.“

Kebijakan, Strategi dan Model Penanggulangan Terorisme

Ketika regulasi anti terorisme dilahirkan, maka paradigma dan norma yang ingin dikedepankan adalah penangaman dan pemberantasan terorisme yang mengacu kepada prinsip hak asasi manusia, rule of law, demokrasi, akuntabilitas dan kemanusiaan. UU Anti Terorisme lahir setelah ada UU tentang Kepolisian Negara, dan kira-kira setahun berikutnya lahir UU TN: tahun 2004. Secara garis besar TNI, fokus dalam menjaga kedaulatan negara dari ancaman luar.melalui fungsi perang dan juga fungsi yang bukan perang ( Military Operation Other Than war). Pom mempunyai tugas menjaga keamanan, penegakkan hukum dan memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Perubahan politik demokratis yang menempatkan supremasi hukum dan penegakan hukum (law enforcement) dalam semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara, telah menempatkan Polri sebagai institusi utama dalam penanggulangan terorisme. Peran TNI yang sebelumnya selalu berada di garis terdepan dalam hal penegakkan pertahanan dan keamanan telah bergeser menjadi komponen yang membantu Polri apabila Polri tidak mampu mengatasi masaiah terorisme yang terjadi. Berdasarkan Undang-Undang TNI Nomor 34 tahun 2004, sistem pertahanan di Indonesia bersifat semesta yang artinya melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya dalam mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah serta melindungi keselamatan bangsa. Sistem pertahanan semesta ini diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, berkesinambungan, dan berkelanjutan dengan TNI sebagai komponen utamanya. Artlnya, TNI merupakan elemen utama yang akan bertindak ketika ada ancaman mlliter dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Sejak berdirinya, TNI telah menunjukkan dedikasnya dalam menjaga dan mempertahankan keselamatan bangsa dan negara Indoensia dari ancaman militer bangsa lain, seperti dalam kasus agresi militer Belanda pada masa revolusi.

Selain operasi militer yang ditujukan untukberperang ketika menghadapi ancaman dan serangan dari negara asing, UU TNI No.34 ini juga memberikan tugas lain kepada TNI yaitu ikut terlibat dalam operasi militer selain perang (OMSP). Operasi ini mencakup di antaranya mengatasi gerakan separatis bersenjata, pemberontakan bersenjata, aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan, mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis, membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsi, dan pemberian bantuan kemanusiaan, membantu pencarian dan pertolongan kecelakaan, melaksanakan tugas perdamaian dunia, membantu tugas pemerintahan di daerah dan membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam Undang-undang. Kebijakan politik itu dilandasi oleh keinginan Negara (pemerintah dan DPR) dan masyarakat sipil untuk melakukan reformasi sektor keamanan. Apalagi konstitusi UUD 1945 hasil amandemen menegaskan pentingnya upaya memperkuat pertahanan dan keamanan negara melalui suatu regulasi politik tentang TNI dan Polri. PenyeIenggaraan fungsi institusi-institusi pemerintahan dalam bidang pertahanan dan keamanan tersebut didasarkan pada dimensi ancaman baik yang bersifat militer dan nirmiliter maupun ancaman keamanan dalam negeri.(Propatria,2009:9).
Dalam konteks ancaman terorisme, peran TNI, Polri dan badan intelijen ditujukan untuk
meIindungi keamanan negara, warga negara dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.

Saat ini terdapat isu utama dalam penanggulangan terorisme yaitu pendekatan anti terorisme yang didasarkan pada war on terror versus policing terrorim. Pendekatan war on terror berargumen bahwa terorisme adalah musuh yang harus diperangi. Sedangkan pemolisian terorisme harus dihadapi dengan penegakkan supremasi hukum. Berdasarkan trend, anatomi dan dlnamika terorisme Indonesia memiliki kompleksitas yang perlu dikaji terus menerus dan menyeluruh. Pada awalnya terorisme Indonesia dilatarbelangi oleh kekecewaan politik mendalam dari kaum elit terpelajar yang tersisih dalam pertarungan po|itik, identitas dan kekuasaan diawal kemerdekaan. Perkembangan radikalisme dan terorisme dalam 70an tahun terakhir, secara konsisten hendak melanjutkan gerakan fundamentalisme untuk memperjuangkan Negara berdasarkan syariah, yang menurut mereka lebih tepat bagi Indonesia. Anatomi, seI-sel dan jaringan terorisme berkembang pesat dengan menggunakan taktis yang makin canggih baik dalam penggunaan CBRN dan WMD maupun dalam strategi mereka menghilangkan jejak dari upaya intelijen anti terorisme. Apabila mencermati berbagai bentuk tujuan, penargetan dan perkembangan radikalisme dan terorisme yang masih tinggi di mana terdapat banyak sel-sel terorisme lokal, tetapi memiliki akses, ideology dan jaringan yang bersifat transnasional. Posisi Indonesia masih dianggap sebagai centre of gravity ideologi
terorisme keagaman (religious motivated terrorism);

Kebijakan dan peran Negara yang seharusnya dikedepankan adalah strategi memberdayakan berbagai instrumen/alat Negara baik yang organik seperti TNI, Polri, Badan lntelijen maupun Kementerian dan Lembaga yang ada untuk menghadapi semua ancaman dan tren terorisme yang muncul di Indonesia. Dalam kerangka itulah, maka menurut saya penggunaan TNI dalam penanggulangan terorisme memiliki relevansinya, apalagi Presiden telah menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai konsekuensi logis dari UU Anti Terorisme yang baru, UU No 5 tahun 2018. Meskipun demikian, sebagaimana nama dari UU Anti Teror itu tetap mengedepankan law enforcement dalam kerangka Negara demokrasi yang berlalu di Indonesia. Hal prinsipil yang perlu diatur dalam Perpres itu adalah tentang aturan pelibatan (rule of engagement) TNI sesuai tingkat ancaman keamanan. Sebagai contoh seperti dalam
kasus terorisme Poso di mana mereka sudah menguasai suatu wilayah tertentu di wilayah Poso yang hal itu sudah mengandung pengertian terjadi ancaman terhadap kedaulatan Negara. Hal itu jelas sudah termasuk ke dalam ancaman yang dihadapi dengan kekuatan pertahanan Negara. Dalam perspektif geopolitik dan keamanan Indonesia yang sangat luas dan berada pada posisi silang, maka Peran TNI dipandang relevan dan penting menjangkau ancaman dan tren terorisme dengan berbagai modus Operandinya. Oleh karenanya, pembangunan kekuatan dan modernisasi Detasemen Anti Teror Polri, beserta Berbagai Pasukan Anti Teror di ‘Iingkungan TNI perlu terus dikondisikan dan disinergiskan guna dimungkinkan terbentuk budaya kerjasama dan kemitraan dalam menghadapi ancaman dan aksi terorisme. Apalagi UU No 5 tahun 2018 mengutamakan early detection (deteksi dini) ancaman terorisme dan deradikalisasi serta upaya
disengagement dalam mendorong intervensi ekonomi dan kemanusiaan secara metode penanggulangan terorisme khas Indonesia.

Jangan Lewatkan